=Prologue=
Kalau ini adalah hidupku, maka mereka adalah gelap.
Sepanjang hari seperti lembaran kosong buku lusuh yang rusak, kekuningan dan mulai copot.
Tak ada apapun, bahkan setitik pena pun--hanya sebuah buku tua yang sudah ditinggalkan, dionggokkan diatas meja kusam berwarna cokelat terlalu jelek.
Tak dilirik sedikitpun, tak diintip.
Aku hidup tanpa arah--hanya sebagai tokoh utama yang terus mengikuti jalan pemikiran sang pencipta. Kemanapun ia menyuruhku, aku akan melakoninya. Terjatuh, terseret, terbunuh.
Kosong dan setiap putaran jarum jam adalah tusukan baru tak terlihat di dadaku yang dingin.
Aku mendongak, memandang sang awan yang selalu bersembunyi. Kelabu dan pucat--kelihatan buruk sekali. Kugerakkan tanganku yang lunglai, berharap bisa meremas kapas-kapas itu.
Sia-sia, aku mulai mendesah.
Kupejamkan mata meski berat, tapi aku berusaha.
Bayangan itu muncul lagi, siluet-siluet menyeramkan, menghantui setiap malam. Aku semakin larut kedalamnya, terus, terus... lalu aku tenggelam. Sekelilingku gelap--pekat dan sesak. Meski sekujur tubuhku berteriak, berusaha membuka kunci cahaya itu, tanganku hanya memutar-mutar kuncinya tanpa hasil.
Dan, lagi, sosok itu muncul di tengah gelapnya suasana, tegap dan tinggi.
Tak ada yang bisa kulakukan, maka aku hanya diam, menanti.
Siapa itu? Penolong?
Aku menunggu, menunggu.
Jejakan kakiku tidak terasa. Kebas.
Mati rasa, aku gemetaran dan balas memandang sosok hitam besar itu.
Seperti malaikat maut, tapi tidak; jauh dari pada itu.
Ia diam saja, meski aku terus membeku. Harusnya aku sudah ditelannya, direbutnya, diambilnya.
Ambil saja aku. Hidupku hanya seperti debu, tak ada gunanya. Aku ingin pergi saja, kalau memang harus begitu, tanpa sadar, alam bawah pikiranku bahkan mengatakan hal itu.
Tentu saja, tentu saja aku juga tak punya alasan untuk menyangkal. Aku hanya barang rusak yang tak pernah dibuang siapapun--hanya dibiarkan tak berdaya.
Sosok itu seperti mengerti keadaanku, kepingan diriku yang hancur mulai roboh.
Kenapa ia diam saja? Ingin sekali aku melihatnya membawaku pergi, kemanapun asal tidak kembali.
Ke dunia penuh nestapa dan tak ada gunanya.
Lalu aku bisa menangkap gerakan pelan sosok itu, mulai bergerak sedikit, kearahku.
Maju perlahan, seanggun angsa putih yang melenggang menyusuri sungai jernih.
Pekat, namun indah.
Ia terus mendekat dan aku pasrah. Aku tak peduli apapun, aku ingin pergi.
Nafasku kian sulit saat sosok itu terus mendekat, menghembuskan aroma asing yang lembap namun sedikit sesak. Siapa dia?
Pertanyaanku mulai terjawab, seakan ada sebuah cahaya mendadak atau mataku yang mulai menyesuaikan diri, aku bisa melihatnya.
Sosoknya yang tegap, dibalut jubah yang berkesan cerah namun juga kontras akan kegelapan--kulitnya kecokelatan eksotis seperti beruang musim panas. Rambutnya yang melampaui dahinya disisir miring, berwarna merah kecokelatan dan bola matanya yang hijau mengagumkan.
Apa ini malaikat?
Kurasa bukan. Ini terlalu indah, bahkan dari bawah alam sadarku.
Ia memandangku seperti aku memandanginya.
Saling membeku, aku merasa sangat... lega.
Batu besar itu dikikis sedikit demi sedikit, tak lagi terlalu berat.
Aku mengulurkan tangan, berusaha menyentuh wajahnya yang berdagu segiempat kecil, dengan liukan bibir pink sehat yang agak tebal. Selebihnya, ia indah dan menawan.
"Allen."
Suaranya yang merdu membuatku terdiam. Namaku disebut dan itu mengejutkan.
Ia tersenyum, senyum paling menawan--untuk gadis muda sepertiku, ia sudah sangat sempurna.
Berusaha mengingat dari mana ia muncul, ia mulai memutar kunci yang sulit kubuka. Sentuhannya sehangat mentari dan selembut beledu.
Aku tergugu, tak melakukan apapun, kecuali melihat seberkas cahaya putih menyilaukan muncul dari balik pintu gelap tanpa bentuk itu. Cahayanya menyelimutiku dan dalam sekejap aku tenggelam lagi diantara cahaya menyilaukan itu.
Tidak! Tidak, jangan!
Aku tak mau pulang. Aku memandang lelaki berjubah itu dengan cemas, berharap kedua pelupuk mataku tak memutuskan untuk mengeluarkan cairan bening putih yang akan menuruni pipiku.
Lelaki berjubah itu tersenyum menenangkan, dan seiring cahaya yang menyelimutiku terus menjalar kearah kami, ia berkata lagi dengan suara seindah nyanyian burung. "Belum saatnya untukmu disini."
Aku tak peduli. Aku ingin disini. Bersamamu. Aku berteriak dalam hati.
Cahaya itu semakin mendekat.
Ia tersenyum. "Ya, aku tahu. Tapi kau belum siap. Duniamu disana, bukan disini."
Aku menggeleng marah. Setetes air bening mengalir di pipiku.
Tidak, aku tak mau kembali. Hidupku bagai neraka. Aku tak kuat lagi. Aku kepingin pergi saja.
"Tidak, tidak..." Ia tersenyum. Suaranya nyaris berbisik. Perlahan ia mendekatiku, dan saat itulah aku merasa sangat hangat. Jemari lentiknya menyentuh pipiku.
Aku menatap kedua matanya yang teduh.
"Kita akan bertemu. Kau akan baik-baik saja. Suatu saat nanti..."
Dan cahaya putih itu mulai menarikku pelan kedalamnya. Aku menggapai, berusaha menjangkau lelaki indah itu--meronta. Tidak, tidak, kembalikan aku. Kumohon... kau tidak mengerti!
Tapi cahaya itu terus menarikku, terus dan terus. Ia semakin memudar.
Jangan pergi! Kau tak mengerti! Aku bisu! Aku hanya gadis tak berguna! Tolong!
Tapi kelihatannya teriakanku tak berarti baginya.
Perlahan ia mulai memudar dan hilang, sementara aku kembali terhempas ke dunia tanpa tepi, tak sadar kembali. Samar-samar kudengar gaungan suarannya yang merdu, membelai setiap organ tubuhku.
"Selamat tinggal, Allen."
Dan aku terjatuh, jauh kebawah, menyesali semuanya dan yang kutahu adalah:
Aku akan menghadapi lembaran kosong tak berujung itu lagi, tokoh di dunia yang monoton dan kosong--hampa dan kering. Menunggu setiap detik, membunuhku, namun aku harus bertahan, mau tak mau.
Kelak aku akan bertemu dia. Entah kapan.
Mungkin saat ajal mulai kasihan denganku dan memutuskan untuk mengambilku dari dunia kering ini...
Suatu saat.
Nanti.
0 Thoughts About This Post...:
Post a Comment
Responses to This Post